top of page

Memberdayakan Ibu demi Kelangsungan Generasi




Baru-baru ini ada berita mengejutkan yang sempat viral di media sosial mengenai sebuah sekolah internasional di Jakarta yang menyediakan toilet dengan gender netral. Berita tersebut ramai diperbincangkan di mana-mana. Menanggapi hal ini, pemerintah DKI kemudian bertindak melakukan koordinasi dan pemeriksaan lapangan untuk memastikan bahwa semua sekolah di DKI mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Dalam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2007, minimum terdapat satu unit jamban untuk setiap 40 peserta didik pria, satu unit jamban untuk setiap 30 peserta didik wanita, dan satu unit jamban untuk guru di jenjang SMP/SMA/MTs/MA. Jumlah minimum jamban di setiap sekolah/madrasah jenjang SMP/SMA/MTs/MA adalah tiga unit.


Hal ini sebetulnya semakin marak terjadi di negara-negara maju, yang tidak hanya membuka diri untuk penyediaan fasilitas toilet karena gender dysphoria namun ke berbagai area lainnya, seperti sport dan entertainment. Isu LGBT menjadi topik hangat di mana-mana. Belum lagi dengan merebaknya post-modernisme, sekarang banyak anak muda diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan kritis yang kemudian menggoncangkan iman mereka. Kantjana (2022) mengatakan:


Namun ketika post-modernisme bangkit, Gereja gagal, dalam pengertian tertentu untuk ‘menyuntikkan’ kebenaran Alkitab ke dalam pikiran dan hati kaum muda mereka. Parents dan pastors pada umumnya tidak menyediakan narasi penangkal terhadap tsunami ideologi yang sangat salah yang mencecar pikiran anak-anak kita secara sengit. Para pemimpin Kristen terus melayani generasi ini seakan-akan “virus pola pikir” ini tidak menyebabkan pandemi ideologis global. Kita berkhotbah dengan asumsi bahwa kondisi kaum muda sekarang biasa-biasa saja, sehingga tidak ada sense of crisis. Kita enggan mengakui bahwa kaum muda urban adalah “suku terhilang” pada masa ini (youth is the lost tribe of today).

Di dalam keluarga, Tuhan telah memberikan orang tua tanggung jawab utama untuk mendidik kerohanian anak-anak mereka. Di hari-hari ini, adalah hal yang umum bagi para orang tua untuk mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada gereja, sekolah minggu, youth groups atau sekolah-sekolah Kristen. Seakan-akan ada pemikiran bahwa dengan mendaftarkan seorang anak di sekolah Kristen dan mengikutsertakannya ke sekolah minggu atau komunitas remaja Kristen, maka anak itu akan serta merta kuat untuk menghadapi arus perubahan dan goncangan yang akan menggempur iman percayanya. Hal ini tidak akan cukup memadai, karena sebetulnya periode waktu temu dengan anak lebih banyak porsinya di rumah dengan orang tua ketimbang dengan guru sekolah minggu atau para fasilitator kaum muda gereja. Orang tua berada di garis depan dalam upaya mempersiapkan anak-anak mereka untuk menghadapi pengaruh budaya yang mengancam nilai-nilai kekristenan. Isu-isu terkait pandangan post-modernisme yang berpotensi menggoyahkan identitas dan keyakinan iman generasi muda tidak lagi berada jauh di dunia antah berantah, namun sekarang terjadi di depan mata.


Memperlengkapi dan Merilis Para Ibu

Dalam peranannya sebagai orang tua, para ibu memiliki akses yang lebih banyak terhadap anak-anak mereka. Mulai dari usia pra-sekolah hingga remaja, banyak ibu yang melakukan pendampingan yang intens dengan anak-anak, baik di rumah maupun kegiatan sekolah. Para ibu terlibat mengantar anak ke sekolah, bertemu dengan sesama orang tua lain serta dalam banyak kesempatan hadir di sekolah dalam berbagai kegiatan. Mereka mendapat kesempatan untuk mendengar langsung berbagai komentar dan pertanyaan anak terkait berbagai isu di sekeliling mereka, baik itu hal-hal yang terlintas di media sosial, film, atau dari lingkungan pergaulan mereka. Para ibu berpeluang tidak hanya untuk mendengar langsung namun juga berdialog dan membentengi anak-anak dari pengaruh-pengaruh yang akan merusak iman percaya mereka. Sayangnya, peluang ini kurang dimaknai secara serius. Entah itu karena kurangnya sense of urgency atau karena minimnya pemahaman terkait post-modernisme. Banyak ibu yang kemudian kehilangan akal menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis atau teaching moments saat berhadapan dengan anak-anak mereka. Hillary Morgan Ferrer menyatakan,


Bagaimana bila kita dapat mempersiapkan anak-anak kita untuk berpikir secara biblikal sebelum mereka diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menantang iman mereka? Berpikir secara biblikal bukan sekedar mengetahui ayat-ayat Alkitab (sekali pun itu adalah titik awal yang luar biasa!). Tidak, berpikir secara biblikal adalah mengenai mengambil apa yang kita ketahui dari Alkitab dan memahami bagaimana prinsip-prinsip yang dihadirkan itu diaplikasikan dalam situasi sehari-hari. Kita ingin anak-anak kita menjadi pemikir-pemikir yang biblikal seperti itu!

Lebih lanjut Hillary Morgan Ferrer menambahkan,


Kita perlu mempersiapkan anak-anak kita sehingga mereka tidak menghadapi masa depan tanpa proteksi. Proteksi terbesar yang dapat kita berikan terhadap anak-anak kita adalah memperlengkapi mereka untuk menghadapi kebohongan kultural di depan mereka dengan tetap menunjukkan kelembutan dan kasih sayang.

Peran serta para ibu sangat besar dampaknya dalam pembentukan pemahaman biblikal anak karena akses dan intensitas waktu yang cukup besar. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius sehingga upaya untuk memperlengkapi para ibu dapat dilakukan secara cermat dan terencana. Pemberdayaan ibu-ibu di dalam konteks gereja lokal yang dilakukan serempak dan terarah akan secara masif menolong membentengi generasi muda kita.


Dalam 2 Timotius 1:5 dikatakan, “Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” Rasul Paulus menunjukkan adanya pengaruh kehadiran iman dari Lois dan Eunike terhadap kehidupan rohani Timotius. Para ibu ini berhasil membangun dan membentengi generasi ketiga dalam kehidupan rohaninya. Dalam 2 Timotius 3:15, “Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus.”


Pendidikan firman Tuhan yang dilakukan sejak dini di rumah oleh orang tua akan menuai dampak jangka panjang yang positif dalam kehidupan seorang anak. Para ibu yang diperlengkapi untuk berdialog dengan anak-anak mereka dalam menghadapi isu post-modernisme akan menyelamatkan generasi.



DAFTAR PUSTAKA


Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendiknas) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS), dan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/MA). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/216118/permendikbud-no-24-tahun-2007


Ferrer, Hillary Morgan. Mama Bear Apologetics. Oregon: Harvest House Publishers, 2019.


Kantjana, Jussac. Did God Really Say? Understanding and Engaging Postmodern MZ Generation. Diterjemahkan oleh Jussac Kantjana dan Arie Saptaji. Jakarta: PT Inspirasi Utama, 2022.


11 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page